Friday, February 17, 2012
Kisah yang Hampir Tidak Diingat
Kompas Cetak Minggu, 19 Desember 2010
Wajah Ismael Hassan (84)
berseri-seri. Pada Sabtu (18/12), di Kompleks Yayasan Asrama dan
Pendidikan Islam Al-Azhar, Rawamangun, Jakarta Timur, ia sibuk menerima
ucapan selamat dari koleganya dan orang-orang lain yang menghadiri
peringatan 62 tahun Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Memakai
setelan jas berwarna gelap, ia juga kelihatan tangkas melayani
permintaan sejumlah orang yang mengajaknya berfoto bersama. Ismael
adalah orang yang paham bagaimana para tokoh Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) berjuang di hutan-hutan belantara di Sumatera Barat.
Bersama tokoh PDRI, ia ikut berpindah-pindah tempat hunian guna
menghindari kejaran Belanda.
Ismael juga mengetahui persis
alotnya perundingan Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara dengan delegasi
utusan Soekarno-Hatta pada fase akhir PDRI. Perundingan itu bertujuan
melunakkan hati Sjafruddin agar mau datang ke Yogyakarta, mengembalikan
mandat pemerintahan kepada Soekarno-Hatta. Dalam perundingan di
Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, itu, Ismael bertindak sebagai
notulis. Di sela-sela makan siang seusai acara peringatan, Ismael
mengatakan, PDRI merupakan salah satu mata rantai eksistensi Republik
Indonesia. Berkat PDRI, pemerintahan Republik Indonesia memiliki
kesinambungan. PDRI dibentuk atas perintah Presiden Soekarno-Wakil
Presiden Mohammad Hatta pada 19 Desember 1948. Serbuan Belanda ke Ibu
Kota Yogyakarta membuat kedudukan Dwitunggal itu berada di ujung tanduk.
Untuk menjaga kesinambungan pemerintahan, dibentuklah PDRI yang
berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Tidak lama setelah
memberikan mandat kepada Sjafruddin sebagai Ketua PDRI, Soekarno-Hatta
ditangkap pasukan Belanda. Selain Sjafruddin, yang menjabat sebagai
Menteri Kemakmuran dalam pemerintahan Soekarno-Hatta, ada delapan orang
lain duduk dalam PDRI. Mereka antara lain Jenderal Sudirman sebagai
Panglima Angkatan Perang PDRI dan Mr AA Maramis yang menjabat Menteri
Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India. PDRI
berakhir pada 13 Juli 1949. Selama tujuh bulan melaksanakan mandat,
tokoh PDRI di Tanah Air berpindah-pindah tempat hunian guna menghindari
kejaran pasukan Belanda. Seminggu sebelum penyerahan kembali mandat,
delegasi utusan Soekarno-Hatta yang antara lain terdiri dari Moh Natsir
dan J Leimena berunding alot dengan Sjafruddin. ”Waktu itu, Sjafruddin
mempertanyakan mengapa PDRI tidak diajak dalam perundingan Roem-Royen
(Mei 1949),” ujar Ismael. Hal lain yang dipertanyakan oleh Sjafruddin
adalah isi perjanjian Roem-Royen yang melemahkan republik. ”Keberatan
utama Sjafruddin sebenarnya terletak pada perjanjian Roem-Royen itu,”
ujar Ismael. Namun, Sjafruddin akhirnya bersedia mengembalikan mandat
pemerintahan kepada Soekarno-Hatta pada 13 Juli 1949. Sjafruddin dan
tokoh PDRI lainnya mendarat di lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta, pada
10 Juli 1949.
Kurang dikenal
Fragmen PDRI dalam bentang sejarah
perjuangan Indonesia mungkin kurang begitu dikenal. ”Hampir tidak
diingat lagi. Peran mereka tidak mendapat sorotan,” kata sejarawan
Hilmar Farid dalam kesempatan terpisah. Baru pada tahun 2006, tanggal
terbentuknya PDRI, yakni 19 Desember, dinyatakan oleh Pemerintah RI
sebagai Hari Bela Negara. Ini merupakan pengakuan luas pemerintah akan
peran PDRI setelah ditunggu- tunggu selama berpuluh-puluh tahun oleh
mereka yang pernah aktif dalam PDRI. Mantan Wakil ketua MPR AM Fatwa
yang hadir dalam acara peringatan 62 Tahun PDRI itu menegaskan, apa yang
dilakukan para tokoh PDRI patut dicontoh oleh generasi politisi ataupun
pejabat sekarang. ”Tokoh PDRI berjuang dengan tulus tanpa mengharapkan
apa-apa demi negara,” jelasnya.
Bagaimanapun, menurut Hilmar,
Sjafruddin akhirnya terlempar dari pusaran kekuasaan di pusat. Lantas,
mantan Menteri Keuangan dan Wakil Perdana Menteri ini memiliki sikap
yang berseberangan terhadap pemerintah pusat dengan bergabung bersama
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958.
Kekuatan PRRI lantas dipukul pemerintah pusat dengan kekuatan militer.
Pemerintah pusat melihat PRRI sebagai pemberontakan, tetapi beberapa
pendapat menyebut PRRI sebenarnya merupakan ekspresi ketidakpuasan
daerah pada pusat.
Peringatan sederhana
Terlepas dari peranan Sjafruddin
dalam PRRI yang dianggap sebagai bentuk pembangkangan, PDRI perlu
mendapat sorotan lebih layak dalam panggung sejarah Indonesia. Pada
periode PDRI ada sejumlah orang yang dengan gigih, tanpa mengharapkan
pamrih apa pun, berlarian di hutan, bukan sekadar untuk menyelamatkan
diri sendiri, melainkan untuk memastikan bahwa pemerintahan RI tetap
eksis di tengah tekanan Belanda. Peringatan 62 tahun PDRI sendiri
berlangsung bersahaja di Kompleks Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam
(YAPI) Al-Azhar, Rawamangun, Jaktim. Setiap tahun, peringatan PDRI
memang selalu dilakukan di sana, dengan diprakarsai oleh Ismael, ketua
sekaligus salah satu pendiri YAPI. Tidak ada pejabat negara atau
politisi beken yang hadir. Namun, mereka semua dengan tulus mengenang
orang- orang yang pernah memberi warna cukup penting dalam sejarah
Indonesia itu. (A TOMY TRINUGROHO)
Komentar:
Tulisan untuk memperingati peristiwa jatuhnya kota Yogya 19 Desember
1948, hendaknya juga untuk mengangkat sejarah Perintah Kilat Jenderal
Soedirman. Itulah peristiwa apa yang kita kenal sebagai "Perang Rakyat
Semesta". PDRI baru berdiri tanggal 22
Desember 1948. Sesungguhnya semua ini berada dalam koridor Sejarah
Nasional dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Yaitu 1. Yogya
diserang, Pak Dirman memiimpin gerilya yang berlaku untuk seluruh tanah
air. 2. Surat mandat dikirim Hatta, satu untuk Sjafroedin di Bukit
Tinggi dan satu lagi untuk Maramis di New Delhi. 3. Presiden, wakil
Presiden/Perdana Menteri dan sejumlah Menteri ditawan di Sumatera.
Meskipun sebagai tawanan, nyatanya Belanda, BFO, KTN, Sri Sultan HB IX
datang ke Bangka untuk bertemu dengan para pemimpin bangsa ini. 4. Palar
selaku wakil PDRI di PBB melakukan perjuangan diplomasi didunia
internasional. Dan jangan lupa peranan para pemimpin Aceh dibawah
Panglima Daud Bereh yang berjuang demi tegak berdirinya PDRI. Aceh tidak
pernah tersentuh oleh tangan musuh. Kalau mau saat itu Aceh bisa
merdeka atau melepaskan diri....tapi itu tidak dilakukan demi
NKRI.....Bukan Main. Referensi "Modal Perjuangan Kemerdekaan"
(Perjuangan Kemerdekaan di Aceh 1947-1948) diterbitkan oleh Lembaga
Sejarah Aceh 1990, penulis TA Talsya
0 komentar:
Posting Komentar